Saturday, March 13, 2010

Dimensi Tanpa Nama

    




        Aku rindu bangku kayu reyot ini, juga sebuah meja bundar kecil berwarna coklat kehitaman, dan dinding-dinding papan yang mulai rapuh. Kuseret koperku ke sebuah kamar kecil di belakang. Pintunya hanya dibatasi oleh sebuah tirai dari kerang-kerangan. Kurebahkan tubuhku diatas sebuah tilam kapuk yang sudah tak empuk lagi. Terdengar suara deritan kecil di kaki ranjang. Cahaya remang pelita di dinding membuatku mengantuk. Aku terlelap entah berapa lama hingga tiba-tiba seorang anak membangunkanku.

“Sudah maghrib” katanya sambil tersenyum.

“Oh iya iya,” aku beranjak dari ranjangku, menatap langit yang mulai temaram dari balik jendela yang tertutup oleh gorden merah tua.

“Bapak kamu dimana?” dia tak menjawab

Aku memakai sarung dan kopiah sebelum berangkat ke masjid. Menyusuri pematang sawah, melewati anak-anak kecil yang berlarian dibalut mukena-mukena merah tua.

Cahaya pelita mengintip dari celah-celah dinding. Setapak menuju rumah kini gelap gulita. Wanita tua memasak makan malam. Malam ini hujan turun, rumah ini berderak-derak saat angin menamparnya. Kurapatkan kain batik yang kugunakan sebagai selimut. Anak itu membuka tirai kamarku dan memberikanku sebuah selimut.

Aku tetap tak bisa tidur. Kubuka. Kupandangi wajah ibu dan anak itu dengan teduh. Aku tersesat dalam dunia ini dan mereka dengan senang hati membawaku ke rumah kecil mereka.

Sebuah telur rebus dihidangkan untukku sebagai sarapan pagi. Aku memakannya dengan lahap. Kubuka pintu belakang rumah dan kuberi makan ayam peliharaan sang wanita tua. Kambing-kambingnya mengembik dari tadi. Aku tertawa, namun tersadar bahwa : aku dimana?

Anak kecil itu angkat bicara “Tak ada yang tahu nama tempat ini."

Aku tak banyak bertanya sebelum ia berdiri dan mengajakku berkeliling menjual kurungan ayam buatannya. Aku menangguk girang. Karena sejak kecil aku suka sekali berjalan-jalan di sebuah desa.

Kuganti kemeja dan celana jeansku dengan kaos lusuh dan celana pendek . Di sepanjang jalan iamenawarkan dagangannya, banyak juga yang membeli. Setelah itu ia mengajakku ke sungai, memancing ikan hingga matahari mulai terbenam. Aku dapat banyak hasil tangkapan. Ia juga. Ia mengajakku pulang, menunggu ibunya.

Wanita tua pulang bermandikan keringat. Ia masuk ke kamar mandi sambil masih tertawa kecil. Malam tiba-tiba hening, Suara jangkrik pun tak ada. Baru kusadari suara air di kamar mandi pun berhenti.

“Ibu?” panggilku. Tak ada yang menyahut.

Pelita di ruang tamu padam. Tinggal lampu 5 watt kamarku yang masih menyala. Warnanya merah tua. Kutatap cermin bulat berukir di pinggirnya. Aku melihat dua orang di tempat tidurku. Anak itu, tersenyum, bersimbah darah, memeluk ibunya.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search